Batik Terpukul Bahan Baku

Kompas (7/4/2011) - Serangan implementasi Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China sudah dirasakan tersistematis, terutama terhadap batik. Dari sisi hulu terasa makin sulit memperoleh bahan baku seperti benang untuk kain sutra dan kapas yang bergantung impor, hingga sisi hilir berupa kelemahan bersaing di pasar, terutama pasar domestik.
Sejumlah perajin batik di Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (6/4), saat ditemui Kompas mengungkapkan dampak negatif Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA). Apalagi, upaya pemerintah dalam mendukung pengembangan Pekalongan sebagai sentra batik terkesan tidak serius. Perajin merasa ditinggalkan pemerintah.
Romi Oktabirawa dari komunitas perajin batik Wiradesa, Pekalongan, mengatakan, kini aspek hulu sebagai tumpuan awal perajin batik dalam berdaya saing sudah diporak-porandakan, misalnya kain katun. Kapas yang sangat dibutuhkan industri tekstil bergantung impor dari Amerika Serikat, Swedia, dan China.
”Saya mencermati, China sudah membidik pasar Asia. Untuk melumpuhkan perajin batik, bahan baku seperti katun dari Amerika Serikat mulai diborong China. Itu tak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan China sendiri,” kata Romi.
Menurut Romi, harga katun sampai akhir tahun 2010 masih 1,5 dollar AS per kilogram, tetapi kini mencapai 2,8 dollar AS per kilogram. Kain sutra yang dibuat dengan alat tenun bukan mesin sangat bergantung impor benang sutra. Harganya pun melonjak dari Rp 60.000 per yard jadi Rp 90.000 per yard (satu yard sama dengan 0,9 meter). Sementara harga kain sutra China melonjak dari Rp 32.000 per yard menjadi Rp 58.000 per yard.
Bayang-bayang kehancuran perajin batik juga ditandai dengan makin tingginya harga gondorukem (Resina colophonium) dari getah pinus sebagai salah satu bahan campuran lilin untuk membatik.
”Bayangkan, harga gondorukem telah lebih dari Rp 30.000 per kilogram karena harga di luar negeri juga segitu. Lha, ya, kita sangat kesulitan karena produsen gondorukem merasa lebih baik mengekspornya untuk pernis atau pelitur,” kata Wulan Utoyo, pemilik Bulan Batik.
Enam bulan lalu, harga gondorukem hanya Rp 10.000 per kilogram, kini menjadi Rp 32.000 per kilogram. Belum lagi, kenaikan harga bahan baku pewarna kain yang harus ditanggung perajin.
Wakil Wali Kota Pekalongan H Achmad Alf mengatakan, ”Gondorukem sudah menjadi permainan monopoli Perhutani. Mereka tampaknya lebih memilih gondorukem diekspor daripada dijual ke perajin batik. Perhutani harus digugat. Pemerintah pusat tidak boleh hanya tinggal diam”.
Di Purwakarta, Jawa Barat, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menegaskan, perdagangan bebas ACFTA tak perlu dibatalkan. Dampak negatif akibat kesepakatan tersebut masih bisa diatasi dengan negosiasi antarpemerintah dan para pelaku usaha. (OSA/RYO/RZF/ENY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar